Jakarta – Sekretaris Umum HMI Badko Jabodetabek-Banten, Syafrudin, mengecam keras status Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa proyek ini merupakan contoh nyata dari konspirasi antara negara dan korporasi yang mengorbankan kepentingan rakyat demi keuntungan segelintir elite ekonomi.
“Bagaimana mungkin proyek swasta yang dibangun oleh Agung Sedayu Group, milik Aguan, dikategorikan sebagai proyek nasional yang seharusnya mencerminkan kepentingan publik? Dengan status PSN, korporasi ini dapat menggunakan alat negara untuk mengeksploitasi tanah rakyat, melanggar hak asasi manusia, dan mengabaikan tanggung jawab sosial serta lingkungan,” ujar pria yang kerap disapa Safa tersebut, Selasa (14/1).
Penggusuran dan Penyalahgunaan Status PSN
Menurutnya, PSN semestinya berorientasi pada kemaslahatan publik, seperti pembangunan infrastruktur yang mendorong pemerataan ekonomi. Namun, PIK 2 justru menjadi kawasan elit dengan properti mewah yang hanya bisa diakses segelintir orang kaya.
“Status PSN pada PIK 2 memberikan kemudahan perizinan, pembebasan lahan, dan dukungan infrastruktur yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan publik. Tanah rakyat dan hutan lindung dihancurkan demi membangun properti eksklusif, menjauhkan masyarakat dari ruang hidup yang layak,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa Undang-Undang Cipta Kerja, yang sejak awal dicurigai sebagai “karpet merah oligarki”, telah menjadi alat legitimasi untuk merampas tanah rakyat demi kepentingan korporasi.
Konspirasi Negara dan Korporasi
Lebih lanjut, Syafrudin menyebut bahwa status PSN PIK 2 mengindikasikan hubungan erat antara pemerintah dan korporasi. Ia menuding adanya upaya sistematis untuk memuluskan proyek ini melalui koneksi politik.
“Agung Sedayu Group mendapat perlindungan dari pemerintah dalam menghadapi kritik masyarakat. Bahkan, pertemuan antara Aguan dan Presiden Jokowi menjelang akhir masa jabatannya menunjukkan betapa negara telah menjadi fasilitator kapitalisme, bukan pelindung rakyatnya,” tegas Syafrudin.
Ia menambahkan, banyak warga lokal yang kehilangan tanah tanpa kompensasi yang layak. Proses pembebasan lahan sering kali disertai pelanggaran hak asasi manusia dengan menggunakan alat-alat negara seperti polisi dan tentara.
Proyek Elitis yang Mengkhianati Semangat Kebangsaan
Syafrudin juga menyoroti dampak sosial dan budaya dari proyek ini. Menurutnya, pengembangan PIK 2 tidak hanya memperbesar kesenjangan antara si kaya dan si miskin, tetapi juga menghancurkan nilai-nilai lokal yang menjadi identitas bangsa.
“Masyarakat pesisir yang telah mendiami wilayah tersebut selama puluhan tahun dipaksa meninggalkan tanah mereka. Ini bukan hanya soal kehilangan lahan, tetapi juga identitas, sejarah, dan tradisi lokal yang terputus karena proyek ini,” katanya.
Ia menilai proyek ini bertentangan dengan semangat kebangsaan dan visi Presiden Prabowo Subianto yang berkomitmen untuk berpihak kepada rakyat kecil.
Tuntutan kepada Pemerintah
Sebagai solusi, Syafrudin mendesak Presiden Prabowo untuk segera mencabut status PSN dari PIK 2. Ia juga meminta pemerintah melakukan audit independen untuk mengungkap berbagai pelanggaran yang terjadi, mulai dari perampasan tanah hingga penghancuran ekosistem.
“PSN harus diorientasikan kembali kepada proyek-proyek yang benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat luas, seperti infrastruktur publik, pendidikan, dan kesehatan. Proyek elitis seperti PIK 2 tidak boleh lagi mendapatkan prioritas dari negara,” pungkasnya.
Syafrudin menekankan bahwa pemerintah harus menjamin kompensasi layak bagi masyarakat terdampak, baik berupa tanah pengganti, bantuan ekonomi, maupun akses terhadap sumber daya yang setara. “Presiden harus membuktikan keberpihakannya kepada rakyat, bukan sekadar omong kosong,” tutupnya. (LM)